AKSELERASI – Kondisi Jalan Soekarno-Hatta di Kelurahan Bontang Lestari membuat anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bontang, Nursalam, berang.
Pasalnya, kata politisi Partai Golongan Karya ini, keberadaan sejumlah perusahaan di sana justru menimbulkan banyak kerugian dibanding memberikan manfaat bagis masyarakat. “Kalau tidak memberikan efek positif bagi Kota Bontang, untuk apa diizinkan beroperasi?” ujarnya.
Nursalam menyebut, Jalan Soekarno-Hatta merupakan bagian dari jalan kota yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bukan jalur penghubung antar kabupaten/kota.
“Harusnya infrastruktur itu dipelihara dari kerusakan agar bisa dinikmati oleh warga Bontang. Jadi bukan berarti bahwa jalanan itu bebas dilewati kendaraan-kendaraan perusahaan,” cetusnya.
Selama ini, beber Nursalam, tonase kendaraan operasional perusahaan yang melewati jalur tersebut selalu melebihi kapasitas.
“Kemampuan jalan kelas III seperti di Kelurahan Bontang Lestari hanya mampu menahan beban maksimal 8 ton. Ini justru kendaraan operasional perusahaan yang melintas rata-rata di atas 10 ton. Bahkan ada yang mencapai 22 ton,” bebernya.
Disamping itu, urai Nursalam, keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut juga tak banyak membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk bekerja. Makanya, tuding Nursalam, hanya orang-orang tertentu yang mendominasi bekerja di sana. “Kalaupun ada masyarakat Kota Bontang yang bekerja, jumlahnya tidak banyak,” tegasnya.
Makanya, Nursalam meminta Pemerintah Kota Bontang bersikap tegas dan memiliki nyali untuk memberhentikan aktivitas itu. “Wajar jika masyarakat menggelar aksi. Sebab itu puncak kemarahan mereka atas diamnya Pemkot Bontang,” sebutnya
Nursalam juga mendesak walikota mengeluarkan Surat Keputusan yang berisi larangan mobil-mobil operasional perusahaan bertonase di atas 10 ton untuk melintas di jalanan dalam kota.
Sebab hal itu bisa membuat kondisi jalan semakin parah. Hal itu menurutnya, harus segera dilakukan sebelum ada masyarakat yang menuntut Pemkot lantaran dianggap lalai. “Sekarang pilihannya mau mendengarkan keluhan masyarakat atau membela perusahaan,” tukasnya. (sur/adv)