Pada awalnya, sebagai permukiman, Kota Bontang memiliki tata pemerintahan yang sangat sederhana.
DULU, Kota Bontang dipimpin seorang yang dituakan. Gelarnya Petinggi, di bawah naungan kekuasaan Sultan Kutai di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Daerah ini lalu terus berkembang. Hingga pada 1952 ditetapkan menjadi sebuah kampung yang dipimpin Tetua Adat. Saat itu kepemimpinan terbagi dua. Pertama yang menyangkut pemerintahan ditangani oleh Kepala Kampung. Kedua, yang menyangkut adat-istiadat diatur oleh Tetua Adat.
Seiring perkembangan zaman, Kota Bontang tentu saja sangat berubah. Perubahan itu terlihat dari adanya Pemerintahan Kota atau Pemkot, dan daerah-daerah yang disebut kecamatan serta kelurahan. Kini, perubahan itu makin jelas manakala Pemkot Bontang berencana memekarkan wilayah. Dari 15 kelurahan, menjadi 23 kelurahan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bontang Agus Haris menyatakan, pemekaran wilayah baik untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Terlebih secara geografis, Kota Bontang dibagi atas dua wilayah; pesisir dan daratan.
Tujuan lainnya juga untuk menambah sumber daya di masing-masing kelurahan baru. Sebab pemekaran wilayah tak sekadar menambah sumber daya manusia. Tetapi juga perangkat dan alokasi anggaran.
“Dalam regulasi, jika ingin mendirikan sebuah kota, minimal harus memiliki 4 kecamatan. Sementara Kota Bontang baru memiliki 3 kecamatan,” terangnya.
“Sebenarnya tidak ada batasan untuk memenuhi itu. Karena memang sekarang aturannya pemekaran wilayah masih moratorium,” timpal politisi Partai Gerakan Indonesia Raya ini.
Jika rencana Pemkot Bontang ini tak mengalami adangan, Agus Haris mengingatkan akan ada konsekuensi yang harus diterima. Tentu saja hal pertama yang dihadapi adalah beban kas daerah. Agus Haris menyatakan, konsekuensi ini tentu akan menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
“Kalau daerah dipandang tidak sanggup mendanai seluruh kelurahan, tentu tidak mendapat restu untuk pemekaran wilayah. Apalagi pemerintah juga meminta, 5 persen dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Red.) dialokasikan untuk kelurahan,” bebernya.
Alokasian 5 persen APBD untuk kelurahan ini, lanjut Agus Haris, tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2018 tentang Sarana dan Prasarana Kelurahan dan Pemberdayaan Masyarakat.
“Tentu semua itu akan dipertimbangkan. Tidak bisa dimekarkan sebuah wilayah kalau pendapatan daerah tidak memungkinkan,” tegasnya. (sur/adv)