AKSLERASI, SAMARINDA – Sosok Tan Malaka, barangkali tak begitu populer di sebagian kalangan generasi muda. Tapi, logika mistika dan feodalisme yang ditulisnya dalam buku Materialisme, Dialetika, Logika (Madilog), justru jadi topik aktual yang diperbincangkan. Ini tergambar dalam Dialog Hari Sumpah Pemuda ke-97 di Kota Samarinda, Kamis (30/10/2025) kemarin.
Berlangsung di Aula Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kalimantan Timur (Kaltim), Kadrie Oening Tower, Komplek Gelanggang Olahraga (Gelora) Kadrie Oening, dialog yang dimoderatori oleh Founder Sumbu Tengah Rusdianto ini, menghadirkan sejumlah narasumber.
Di antaranya seperti Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dispora Kaltim Muhammad Faisal sebagai keynote speaker, sejarawan publik dari Kota Samarinda Muhammad Sarip, musisi sekaligus komposer musik dari Kota Samarinda Novi Umar, content creator Intan Nabila, dan Founder & Festival Director “Kembali Pulang” Antares Wardana.
Lalu, dua narasumber lain adalah Anisa Tri Anugrah dari Korps Himponan Mahasiswa Islam –HMI–Wati (KOHATI) Kota Samarinda, dan Julaihah dari Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI) Kota Samarinda.
Dalam dialog yang berdurasi total 3,5 jam tersebut, para peserta didominasi 75 siswa-siswi dari Sekolah menengah Atas (SMA) Negeri 10 Kota Samarinda. Ditambah 10 peserta umum. Mereka tampak antusias menyampaikan pertanyaan dan pendapatnya seputar praktik feodalisme di lingkungan keseharian.
Dalam dialog itu, Intan Nabila, content creator, sempat memaparkan garis besar isi buku Madilog karya Tan Malaka. Dimana, salah satu bahasannya adalah logika mistika. “Pada masa kini, mistik berkembang dalam kemasan yang baru. Misalnya teori konspirasi yang berlandaskan cocoklogi,” jelas mahasiswi Universitas Mulawarman (Unmul) ini.
“Buku Madilog itu jahat! Buku-buku yang lain aku bisa selesai membacanya dalam seminggu atau 3 hari. Tapi buku Tan Malaka ini aku perlu 3 bulan baru bisa selesai, karena bahasanya yang kaku dan ejaan yang jadul,” timpal Intan Nabila.
Selain itu, sejarawan publik dari Kota Samarinda, Muhammad Sarip, menjelaskan, peringatan Hari Sumpah Pemuda harus progresif. Tidak monoton dengan tema-tema yang klise.
“Forum ini tidak bermaksud mengglorifikasi Malaka. Baik dari figur Tan Malaka maupun sebuah entitas project yang menyandang nama Malaka. Karena kita harus tetap kritis kepada siapapun dan tidak boleh kultus individu atau sekadar FOMO (Fear of Missing Out, Red.),” terang penulis buku Histori Kutai tersebut.
Sebelumnya, dialog dibuka oleh Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dispora Kaltim, Muhammad Faisal, sebagai keynote speaker. Ia menyampaikan motivasi bagi anak-anak muda supaya meraih cita-cita setinggi langit.
“Kita juga harus waspada dengan hoaks karena bukan semata berita palsu, tapi juga disengaja supaya orang-orang jadi berbuat yang salah,” ujarnya.
Berikutnya, pelbagai pendapat dan pengalaman disampaikan tiga narasumber lain. Seperti, musisi sekaligus komposer musik dari Kota Samarinda Novi Umar, yang turut mengemukakan pendapatnya. “Impian bisa diraih asalkan dengan tekad dan usaha yang kuat,” ucapnya.
Semangat yang sama disampaikan Antares Wardana. Founder & Festival Director “Kembali Pulang” ini, sukses menyelenggarakan pagelaran musik dengan konsep penanganan mental health pertama di Kalimantan dalam usia 20 tahun.
“Berdasarkan pengalaman tragis yang menimpa sahabat saya, maka saya ingin membantu generasi muda yang terpapar mental health supaya bisa tetap bertahan,” ungkapnya.
Sementara itu, Founder Sumbu Tengah, Rusdianto, yang menjadi moderator, menyatakan apresiasinya pada siswa-siswi SMA Negeri 10 Kota Samarinda yang memiliki kemampuan public speaking yang bagus dengan kalimat yang terstruktur dan berbobot.
“Saya sengaja mendekati setiap penanya untuk mengecek apa yang dia lihat di layar HP-nya (handphone, Red.), dan ternyata hanya catatan, bukan aplikasi AI (Artificial Intelligence, Red.). Mereka memang anak-anak yang cerdas,” kata Rusdi –sapaanya. (*)




