Rakyat Indonesia dari berbagai daerah melakukan perlawanan besar-besaran untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, salah satunya adalah rakyat Kalimantan.
BEBERAPA perlawanan yang paling dikenal adalah perlawanan Kalimantan terhadap Belanda yang disebut Perang Banjar dan perlawanan terhadap Jepang. Bagaimana kisahnya? Simak cerita lengkapnya di bawah ini.
Mengutip buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud (1977 : 53-55), perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Belanda dipicu oleh beberapa hal.
Diantaranya campur tangan Belanda terhadap politik kerjaan, masuknya kegiatan ekonomi asing dalam bentuk tambang modern, perkembangan missi dan zending, dan rencana Belanda untuk menghapus pemungutan bea cukai dengan mengganti dengan uang tahunan.
Campur tangan tersebut meresahkan rakyat Kalimantan, khususnya golongan kerajaan yang merasa bahwa adat tradisinya dirusak. Sementara itu rakyat juga kecewa karena politik Belanda dipaksakan pada kraton.
Akhirnya, rakyat Kalimantan melangsungkan Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari untuk merebut hak-hak tradisional mereka.
Namun, perang di daerah Banjir-Hulu Sungai ini selesai pada 1865. Setelah sebelumnya Sultan Tamjid dibuang ke Bogor, Pangeran Hidayat ke Cianjur, Pangeran Aminullah ke Surabaya, dan hukuman mati untuk beberapa pimpinan.
Perlawanan rakyat Kalimantan tetap berlanjut di hulu Barito. Kelompok Pangeran Antasari melanjutkan tradisi Banjar dengan cara lain.
Yaitu menjadikan Pangeran Antasari sebagai raja Kerajaan Banjar dan melakukan perlawanan dengan mengorganisasikan suku-suku Dayak untuk melawan Belanda.
Pada 1862, Pangeran Antasari meninggal dunia. Namun, perang dan kerajaan Banjar baru berakhir pada 1905 setelah Menawing jatuh di tangan pasukan Marsose.
Mengutip Jurnal Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 di Kalimantan Barat: Suatu Pembunuhan Massal di Masa Penduduk Jepang oleh Muhammad Rikaz Prabowo (2019:28-), Jepang memasuki Pontianak, Kalimantan pada 2 Februari 1942.
Sebelumnya, Jepang telah melakukan pengeboman di Kalimantan. Bom tersebut meleset hingga menghantam sekolah, pasar, dan rumah penduduk. Ini membuat ratusan penduduk Pontianak gugur.
Setelah sampai di Kalimantan, Jepang menebar janji manis kepada rakyat. Kendati demikian, kedatangan Jepang mulai menyulitkan kehidupan masyarakat, baik dalam segi ekonomi hingga sosial.
Suatu ketika, Jepang mendengar desas-desus perlawanan dari rakyat Kalimantan. Tak lama kemudian, rakyat Kalimantan Selatan melakukan penyerangan terhadap Belanda. Sayangnya, pemberontakan itu gagal.
Setelah peristiwa itu, Jepang melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh masyarakat hingga masyarakat sipil. Puncak pembantaian terjadi pada 28 Juni 1944. Pembantaian ini menyebabkan hilangnya generasi kaum cerdik, mengganggu pemerintahan feodal lokal, hingga memicu perlawanan etnogerilya terhadap Jepang. (*)